Camera, Take, Love!
Chapter 1: Lensa Pertama
Jakarta pagi itu tidak terlalu bersahabat. Langit tiba-tiba menjadi gelap ditemani jalanan yang juga sudah ramai oleh pengendara mobil dan motor, padahal jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Di studio film milik rumah produksi Blush & Blooms Pictures, suasana sama tegangnya dengan Jakarta hari ini.
Daniel berdiri di balik monitor, ekspresinya saat itu sangat tidak bisa dibilang ramah. Kemeja hitamnya digulung sampai siku, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya yang tajam layaknya sinaran laser yang menusuk. Memang tipikal sutradara muda yang sudah beberapa kali menang penghargaan film pendek, tapi kali ini, ia dihadapkan dengan tantangan baru untuk mengerjakan film dengan genre romantic comedy.
Dan dia nggak excited sama sekali.
“Gue masih nggak ngerti kenapa harus gue yang disuruh nge-direct genre beginian,” Daniel ngomong ke Gazi, produser yang lagi nyeruput kopi sambil duduk santai di kursi lipat.
“Karena lo butuh dilatih biar nggak terlalu serius,” jawab Gazi tanpa noleh. “Romcom tuh uang. Fun. Penonton butuh ketawa dan baper, bukan cuma mikir dalem-dalem.”
Daniel mendecak. “Iya, tapi lucunya jangan garing. Dan chemistry-nya juga harus real. Kalau nggak ya bisa malu-maluin.”
“Tenang, cast-nya kita pilih yang fresh tapi punya potensi,” kata Gazi sambil ngasih isyarat ke pintu. “Nih, bintangnya udah dateng.”
Masuklah seorang cewek dengan hoodie oversized warna kuning gading beserta celana jeans nya yang sudah sedikit pudar dengan wajah tanpa make up yang mencolok. Tapi senyum yang ia pancarkan saat masuk langsung merubah suasana ruangan berasa lebih cerah. Dia berjalan ke tengah ruangan, nyodorin tangan ke Daniel.
“Hai, aku Andin,” ucapnya ceria. “Makasih udah kasih aku kesempatan audisi.”
Daniel menatap tangannya dua detik sebelum akhirnya disambut singkat. “Daniel.”
“Gue tau,” jawab Andin sambil senyum. “Sutradara yang filmnya menang di Busan, kan? Pressure banget nih.”
Daniel mengangkat alis. “Kalau udah tau pressure, kenapa masih santai gitu?”
Andin cengengesan. “Karena kalau gugup nggak bikin akting gue bagus juga.”
Gazi nyengir di pojokan. “Liat tuh, cewek ini beda. Lo bakal suka.”
Daniel mengeluarkan nada malas sambil ngelirik naskah. “Lo baca scene 12 ya. Adegan pengakuan cinta.”
Andin duduk, ambil waktu bentar buat fokus, lalu mulai akting.
“Gue nggak ngerti kenapa harus lo,” katanya lirih, suara bergetar. “Tiap kali lo deket, gue kesel. Tapi tiap lo jauh... gue kayak nggak bisa napas.”
Daniel nyaris lupa nafas. Gaya ngomongnya luwes, nggak kayak aktris yang pura-pura sok mendalam. Ada rasa yang jujur. Terlalu jujur, bahkan.
Pas adegannya kelar, Daniel diem.
Gazi mulai tepuk tangan, “Cakep! Dapet banget emosinya.”
Daniel akhirnya buka suara. “Lo dapet perannya.”
Andin melongo. “Serius?”
“Serius. Tapi lo harus kerja keras,” kata Daniel. “Gue perfeksionis. Nggak semua orang tahan kerja bareng gue.”
Andin angkat bahu, senyum nyengir. “Gue juga bukan orang gampang diatur. So... cocok lah ya.”
Daniel mau balas, tapi senyumnya muncul lebih dulu. Halus dan kecil, nyaris tidak terlihat. Tapi nyata.
Dan itulah awal dari segalanya.
Comments
Post a Comment