Camera, Take, Love!

Chapter 5: Close-Up Confession 


Gala premiere film Summer Lights berlangsung megah malam itu. Lampu-lampu gemerlap, karpet merah terbentang, dan tamu undangan berdatangan dengan pakaian terbaik mereka. Tapi satu yang paling disorot malam itu. Daniel dan Andin.

Daniel tampil rapi dengan jas hitam simpel, rambutnya disisir rapi, meskipun tetap ada satu helai yang jatuh di dahinya. Sementara Andin memukau semua orang dalam gaun satin biru muda dengan belahan kaki setinggi lutut dan tatanan rambut messy bun yang kelihatan effortless. Aura mereka saat berjalan berdampingan seperti pasangan sungguhan.

Atau mungkin… memang sudah bukan pura-pura lagi?

Di ruang konferensi pers, wartawan berebut posisi. Suara kamera klik klik klik seperti derap jantung yang makin kencang.

“Daniel, Andin, gimana rasanya akhirnya film kalian tayang juga?”

“Seneng banget pastinya,” jawab Andin sambil tersenyum ke arah Daniel. “Capeknya ke-cover sama rasa puas liat hasilnya.”

Daniel cuma angguk, kalem. Tapi matanya sempat melirik Andin diam-diam. Ada sesuatu yang belum selesai antara mereka—dan dia tahu, saat itu makin dekat.

Sampai akhirnya, satu wartawan dengan suara lantang nanya, “Tapi yang paling ditunggu publik... sebenernya hubungan kalian itu beneran atau cuma strategi promosi?”

Seketika ruangan sunyi.

Andin sempat noleh ke Daniel, napasnya terhenti. Dia nggak siap.

“Settingan kah?” tanya wartawan itu lagi, kali ini dengan senyum menggoda. “Atau jangan-jangan... udah beneran naksir?”

Andin buka mulut, tapi kata-kata nggak keluar.

Daniel berdiri. “Gue jawab.”

Semua kamera langsung nyorot ke dia.

“Awalnya iya, settingan. Gimmick buat promosi, buat bikin penonton penasaran. Gue ikut karena ya... itu bagian dari kerjaan,” katanya, suaranya mantap tapi matanya lembut.

Tapi kemudian nada bicaranya berubah, sedikit lebih tenang. “Tapi makin hari, makin gue sadar, waktu gue bareng Andin... gue bukan lagi acting.”

Andin terdiam, matanya membulat.

“Dia beneran bikin hari gue lebih gampang. Bikin capek kerja jadi ketawa. Dan setiap kali dia senyum, rasanya... kayak gue pengen stop kamera, terus jalanin itu beneran.”

Beberapa wartawan terharu. Kaia, yang nonton dari pojokan ruangan, nyengir puas sambil bisik ke diri sendiri, “Akhirnya.”

Daniel melanjutkan, sekarang menghadap langsung ke Andin. “Gue suka lo, Din. Bukan karena marketing. Tapi karena lo bikin hidup gue yang selama ini penuh deadline, jadi ada ruang buat mikir soal... bahagia.”

Andin berdiri. Jantungnya deg-degan.

“Lo tahu nggak, dari semua kalimat di skenario, kalimat barusan itu yang paling bikin gue percaya,” jawabnya pelan. “Gue juga suka lo, Dan.”

Sorakan meledak. Kamera klik terus. Tapi di tengah semua keramaian itu, mereka berdua hanya saling tatap. Nggak ada skenario. Nggak ada blocking.

Cuma dua orang, akhirnya saling jujur. Dan satu film... yang nggak lagi sekadar cerita.

Comments

Popular posts from this blog

Blush & Bloom Pictures

Love, Engagement, and Public Relations: Rahasia Romcom dalam Menarik Audiens

The Power of Meet-Cute: Membangun Brand Awareness dengan Momen tak Terlupakan